Thursday, July 25, 2024

The Megical Mamle

     In the Srit Papua area there are two legendary stones. The stone is flat. People say they are sandals from Mamle. It is said that in the past he often wore it when he was teaching kindness to the people there. Mamle is the legendary clever and powerful person.

    Once upon a time there were two people from different ethnicities married. The man comes from the Frisya tribe, and the woman comes from the Sandrafe tribe.

    They lived happily, and not long after their marriage, a child was born, they named the child Mamle, but then Mamle became an orphan, her father died, therefore she went with her mother.

    Then they lived in Bolsase, in the Wen area. His mother farmed there, growing sweet potatoes and vegetables. Mamle has been used to helping her mother since she was little, she is a very diligent child and obeys her mother. One day he was asked to help his mother cut down the only breadfruit tree left in their field. Mamle really enjoyed it. Immediately, he took his stone ax to the top of the tree and cut the tree branches to make it easier for him to cut down the tree. But suddenly the wind blew very hard, Mamle's mother, who was worried to see her child still in the tree, immediately told Mamle to come down. Mamle, who was very obedient to her mother, immediately jumped from the tree to the ground and landed safely.

   Seeing the strangeness of his son, he thought that his son was a powerful person, according to his name Mamle, which means powerful. The second strange incident was when Mamle reached the beginning of adulthood. At that time Mamle had finished building her dance house, a Bol Taro. When it was finished, he invited people from various regions. 

    The two guests who came were attractive women from the Sandrafe tribe. Both of them turned out to be very interested in Mamle and it turned out that Mamle was also interested. The two women turned out to be the daughters of Mamle's own uncle. Their relationship was not approved by the tribal leader Sandrafe, and tensions arose until Mamle was finally chased by other male party guests. They will kill Mamle. Luckily Mamle was able to escape in time.

    While running, Mamle saw a palm tree. It occurred to him to outwit his pursuers and help the palm tree. Carrying a small roof he climbed the palm tree. He wanted to tap the palm tree and use the roof as a container. He wanted to make palm wine that he would drink to his pursuers until they were drunk and could no longer chase.

        "You can kill me after drinking my palm wine," said Mamle. The pursuers drank the wine until it was finished, then Mamle tapped the bottom of the tube and the wine was filled again, and so on until the pursuers were very drunk. Then Mamle drew a line between them, the ground separated and a deep ravine was formed that separated Mamle and his pursuers.

   Mamle also transformed herself into a swallow and came to those who had intended to harm her. He will save those who believe in him, and those who do not believe will be turned to stone. It turns out that the two women who made him fall in love didn't believe him so they became stones. It is said that the stones will cry if they are rubbed and teased.

    Strange events always accompany Mamle's life. One day he was invited by someone to attend his aunt's wedding party. Her aunt was going to marry a member of the Sawiat tribe in Meybat.

    The journey to the area was difficult and annoying. All this adds to the two tall mountains that stand in the way, Mount Tles and Mount Yilo. Feeling that the mountain was blocking his path, there was only an inch left, so he picked him up and took him to the land of Maybet, where the mountain used to be, there is now a beautiful lake.

        Because he felt hungry, he then headed for the field that had just been cleared. To the people who were working on the fields, he asked for food. But instead they sneered at him. Mamle became upset and then went to her aunt's field. This time his aunt gave him food. Still feeling annoyed with people who didn't want to give him food, he took the two mountains Yilo and Tles to their fields and put them there, so the fields that had just been tilled were now covered by Mt. Tles and Mt. Yilo, except for his aunt's farm.

    There was one event that made Mamle leave the mountainous area for the valley. Events involving the death of his mother. Due to a serious illness, Mrs. Mamle died. When she was sick, no one came to condole with her. Mamle then alone took her mother to the place where the bodies were kept, khalikat. Three days and three nights he mourned, three days and three nights he was alone with no one to accompany him.

        This incident made him very sad and disappointed with his neighbors, and made him intend to leave his village. He then headed for the valley and lived in the khabra region. Mamble works wonders again in this region. he was in the mood to eat, he didn't hunt or cook, it all came to him. He just said to the Serumuk river that he was hungry, then the Serumuk river gave him all the types of fish in it that were ready to eat.

          That's a little story about the powerful and clever Mamle. Hopefully you can get the benefits.

 

That's all...

Source: Collection of Indonesian Folk Stories "Papuan Folk Stories"

 


Tuesday, July 23, 2024

Panglima Caadara

    Saudara-saudara kita dari papua sangat mahir berperang. Mereka pintar melemparkan tombak, berkelahi tangan kosong, membuat teriakan perang, berlari dan menggunakan perisai. Dahulu mereka sering berperang antar suku bangsa, karena memang banyak suku bangsa di Papua. Tetapi sekarang tidak lagi. Perang telah diganti latihan perang perangan yang digunakan hanya untuk memeriahkan pesta atau memperingati hari-hari besar saja.

    Tahukah kalian salah satu orang yang berjasa dalam memberi para penduduk papua dalam memperkenalkan cara berperang yang mahir itu ? kalian akan membaca salah satu kisahnya Panglima Caadara. Bagi Masayarakat Kiman, Caadara adalah pahlawan. Mereka menghormatinya sebagai sosok panglima perang dan pemimpin yang hebat, berikut kisahnya.

    Pada suatu ketika di Desa Krademaru terdengar teriakan tangis sangat keras dari salah satu rumah penduduk. Seorang bayi telah lahir. Bayi dari Wire rupanya. Seorang bayi yang sangat montok dan sangat sehat. Gembira hati Wire mendapat anak lelaki yang sangat tak ternilai itu. Dia pun membuat pestasyukuran atas lahirnya bayinya itu.

    Wire memberi nama bayinya Caadara.

    Caadara tumbuh menjadi anak yang sangat sehat dan tangkas. ketangkasannya jauh melebihi anak anak sebayanya. Dia bisa memanjat, berlari, meloncat dan berenang, sungguh semua itu membanggakan hati Ayahnya, hingga diputuskan untuk melatihnya ilmu ilmu perang.

    Maka dari itu sedari kecilpun Caadara telah diajarkan ilmu perang yang dimiliki Ayahnya. Dia diajarkan bagaimana cara mengendap saat menyerang musuh, menghindari musuh terlalu banyak, diajarkan cara berkelahi jarak dekat, memanah, diajari cara memegang tombak dan melemparkannya, juga diajari untuk menyembuhkan luka saat terkena senjata tajam.

    Oleh karena didikan Ayahnya, Caadara tumbuh menjadi pemuda yang gagah, tangkas dan pemberani.

    Melihat anaknya telah tumbuh menjadi pemberani dan perkasa, timbullah niat untuk menguji keberanian dan segala ilmu yang telah diberikan.

    Caadara yang telah siap dengan semua ujian ayahnya, langsung mengangguk setuju. Dia langsung mengumpulkan 10 orang temannya untuk membantu dalam perburuannya. Daerah perburuan bukanlah tempat yang dekat dari desanya. Daerah itu adalah sebuah wilayah dipinggir danau ditengah hutan. Untuk kesana bukanlah hal yang mudah dan aman. Selain itu, ini akan menjadi suatu pengalaman menarik bagi mereka semua, karena ini merupakan perburuan mereka. Caadara membuat rencana perburuannya dengan matang, hingga perlu waktu cukup lama untuk membuat keputusannya. Akhirnya rencana perburuan bisa terwujud, mereka pun merasa lega, perburuan pun dimulai.

    Mereka berjalan meninggalkan desa. ladang-ladang dilalui, semak belukar mereka tembus, hingga mereka sampai di hutan rimba. Tanpa ragu, mereka pun memasukinya.

Betapa gelap hutan itu, tanaman besar dan kecil bercampur menjadi satu dan semua itu ditambahi dengan suara aneka binatang yang bermacam-macam. Caadara dan kawan kawannya terus berjalan ke dalam hutan hingga mereka sampai pada  tempat yang mereka maksud. Sebuah tempat lapang dipinggir danau. Daerah itu ternyata banyak hewan buruannya. Mereka sangat suka dengan keadaan itu, hingga memutuskan untuk berkemah disana. Hari pertama mereka mendapatkan sebuah babi hutan yang gemuk, yang akan membuat mereka semua pesta daging babi bakar. Pada hari kedua mereka mendapatkan dua babi hutan. Hingga hari keenam mereka selalu sukses mengadakan perburuan tanpa ada halangan apapun.

    Pada hari ke tujuh bahaya tampak datang mengancam. Seekor anjing pemburu terlihat menyelinap dan berlari lari di ladang perburuan mereka. Caadara menjadi sangat waspada dan berhati-hati. Mereka memutuskan tidak berburu hari itu sampai mengetahui apa yang akan terjadi.
Anjing pemburu merupakan pertanda buruk bagi mereka. Anjing pemburu merupakan pertanda ada pemburu dari suku lain mendekat. Jika mereka bertemu, maka kemungkinan akan terjadi perebutan ladang perburuan. Arti dari semua itu adalah perang.

Hari itu belum terjadi apa, tetapi Caadara dan rekannya tetap waspada

Dipagi hari, saat Caadara dan rekan rekan mereka baru bangun, terdengarlah teriakan gemuruh yang mengerikan. Musuh telah datang ! Dua rekan Caadara merasa sangat ketakutan. Hanya Caadara dan ketujuh rekannya yang masih tetap santai.

Musuh ternyata orang suku kuala yang berjumlah lima kali lipat. Caadara kemudian memutuskan untuk mencari tempat bertahan yang baik, sekaligus juga tempat yang bagus bagi mereka menyerang balik. Caadara membawa mereka ke padang ilalang yang tinggi dan lebat. Mereka menjadi tak terlihat oleh musuh, tetapi bisa melihat musuh yang akan menyerang.

Musuh datang dengan teriakan perang yang mengerikan. Tetapi Caadara tak terpengaruh, Suasana menegang dan perang pun tak terelakkan.

Perang yang tak seimbang sepuluh orang melawan lima puluh orang. Teriakan perang, Ayunan tombak, tongkat pemukul, perisai yang berbenturan, teriakan kesakitan, semua berbaur menjadi satu dalam perang itu. Caadara dan sahabatnya berperang seperti banteng terluka. Mereka berperang dengan gagah berani dan tanpa mengenal takut, terutama Caadara.

Caadara berperang dengan cara yang aneh, dia tidak memakai perisai untuk melindungi tubuhnya, dia pun tidak menggunakan tombak atau pemukul. Dia memakai parang yang disambarkan ke setiap musuh didepannya. Jurus perang yang aneh itu justru sanggup membuat roboh puluhan musuh dengan singkat. Melihat cara perang Caadara yang luar biasa itu, para musuh menjadi gusar. mereka merasa takut dan melarikan diri

Caadara sangat lega musuh terusir pergi. Teman temannya sangat gembira, dan mereka pun jadi sangat bangga dan kagum memiliki rekan dan pemimpin yang hebat seperti itu.

Orang orang kampung Kramuderu sangat takjub mendengar cerita teman teman Caadara tentang sepak terjangnya mengelahkan musuh. Mereka sangat bangga memiliki seorang pemuda sehebat Caadara. Mereka telah menemukan seorang calon pemimpin suku baru, tetapi dari semua yang berbahagia, tak ada yang lebih bahagia dari Wire. Anaknya sekarang telah menjadi lelaki sejati yang sangat hebat dan pantas memimpin suku.

Semenjak itu masyarakat mulai mengenal Caadara Ura, atau gaya berperang gaya Caadara. Gaya ini meliputi berbagai ragam cara beladiri tangan kosong, melemparkan senjata, menggunakan senjata dan berlari.

Sekian