FATHUL MAKKAH
(PEMBEBASAN MEKAH)
Pembebasan Mekkah (Fathu
Makkah) merupakan peristiwa yang terjadi pada tahun 630 tepatnya pada tanggal
10 Ramadan 8 H, dimana Muhammad beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah
menuju Mekkah,
dan kemudian menguasai Mekkah secara keseluruhan tanpa pertumpahan darah
sedikitpun, sekaligus menghancurkan berhala yang ditempatkan di dalam dan sekitar Ka'bah.
Penyebab
Pada tahun 628,
Quraisy
dan Muslim dari Madinah menandatangani Perjanjian Hudaybiyah. Meskipun hubungan
yang lebih baik terjadi antara Mekkah dan Madinah setelah penandatanganan
Perjanjian Hudaybiyah, 10 tahun gencatan senjata dirusak oleh Quraisy, dengan
sekutunya Bani Bakr, menyerang Bani Khuza'ah yang merupakan sekutu Muslim. Pada
saat itu musyrikin Quraisy ikut membantu Bani Bakr, padahal berdasarkan
kesepakatan damai dalam perjanjian tersebut dimana Bani Khuza'ah telah
bergabung ikut dengan Nabi Muhammad dan sejumlah dari mereka telah memeluk
islam, sedangkan Bani Bakr bergabung dengan musyrikin Quraisy.
Abu Sufyan,
kepala suku Quraisy
di Mekkah, pergi ke Madinah untuk memperbaiki perjanjian yang telah dirusak
itu, tetapi Muhammad menolak, Abu Sufyan pun pulang dengan tangan kosong.
Sekitar 10.000 orang pasukan Muslim pergi ke Mekkah yang segera menyerah dengan
damai. Muhammad bermurah hati kepada pihak Mekkah, dan memerintahkan untuk
menghancurkan berhala di sekitar dan di dalam Ka'bah. Selain itu hukuman mati
juga ditetapkan atas 17 orang
Mekkah atas kejahatan mereka terhadap orang Muslim, meskipun pada
akhirnya beberapa di antaranya diampuni.
Pemimpin pasukan
Tanggal 10 Ramadan 8 H, Nabi Muhammad
beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah, dan kota Madinah
diwakilkannya kepada Abu Ruhm Al-Ghifary.
Ketika sampai di Dzu Thuwa, Nabi
Muhammad membagi pasukannya, yang terdiri dari tiga bagian, masing-masing
adalah:
- Khalid bin Walid memimpin pasukan
untuk memasuki Mekkah dari bagian bawah,
- Zubair bin Awwam
memimpin pasukan memasuki Mekkah bagian atas dari bukit Kada', dan
menegakkan bendera di Al-Hajun,
- Abu Ubaidah bin al-Jarrah
memimpin pasukan dari tengah-tengah lembah hingga sampai ke Mekkah.
Dari Al-Hajun Nabi Muhammad memasuki
Mesjid Al-Haram dengan dikelilingi kaum Muhajirin dan Anshar. Setelah thawaf
mengelilingi Ka'bah, Nabi Muhammad mulai menghancurkan berhala dan membersihkan
Ka'bah. Dan selesailah pembebasan Mekkah.
Enam Pelajaran di Balik Kisah Sebelum Fathu Makkah
Sudah tidak ada alasan lagi bagi kaum muslimin menunggu. Kini saatnya
begitu tepat. Kekuatan kaum muslimin telah cukup kuat. Pelanggaran perjanjian
al-Hudaibiyyah yang dilakukan kaum kafir Quraisy sudah tidak dapat ditolerir
lagi. Maka waktu yang ada sangat dimanfaatkan oleh Rasulullah SAW untuk
merencanakan penaklukan Mekah.
Rasulullah SAW meminta para pengikutnya agar menyiapkan diri untuk
berperang. Akan tetapi beliau merahasiakan persiapan mereka. Hanya beberapa
sahabat dekat beliau yang mengetahui apa yang akan mereka hadapi, dan beliau
meminta menyamarkan tujuan perang mereka. Karena itu, banyak isu yang beredar,
yang mengatakan mereka akan menuju Syam, atau ke wilayah Tsaqif, atau ke
wilayah suku Hawazin. Hal ini bertujuan menimbulkan kebingungan di seluruh
semenanjung Arab. Sehingga diharapkan, pihak kaum kafir Quraisy tidak punya
cukup waktu untuk menghimpun kekuatan untuk melawan. Karena Rasulullah SAW
menginginkan kemenangan yang sempurna, penaklukan tanpa ada benturan senjata, apalagi
pertumpahan darah.
Namun suatu ketika, saat Rasulullah SAW berada di Masjid Nabawi untuk
menyiapkan sekitar sepuluh ribu pasukan, beliau mendapat visi yang mengabarkan
bahwa rencana rahasia itu telah terbongkar. Beliau lantas memanggil sahabat
yang sebelumnya ditempatkan sebagai pasukan berkuda, yakni Ali bin Abi Thalib,
az-Zubair bin al-‘Awwam, dan Muqdad bin al-Aswad. Rasulullah SAW berkata,
“Berangkatlah kalian bertiga hingga di suatu tempat bernama Taman Khakh. Di
sana, ada seorang perempuan dari kalangan kaum musyrik yang sedang membawa
sepucuk surat yang dikirimkan Hathib bin Abu Balta’ah kepada kaum musyrik
Mekah.”
Tanpa ba-bi-bu lagi, mereka bertiga segera menuju lokasi. Tak lama, mereka
berhasil menemukan perempuan tersebut dan menangkapnya. “Di manakah surat yang
kau bawa?” kata Ali bin Abi Thalib.
“Aku tak membawa surat apa pun!” jawab perempuan yang ternyata bernama
Sarah itu.
Mereka kemudian memeriksa bawaan yang ada di untanya Sarah. Tapi nihil.
Mereka tak menemukan surat itu. Kedua teman Ali bin Abi Thalib itu pun berkata,
“Kami tak menemukan surat itu.”
“Aku benar-benar tahu, Rasulullah SAW tidak akan berdusta. Demi Allah, hai
perempuan, jika kau tak menunjukkan surat itu, aku akan menelanjangimu!”
Melihat kesungguhan Ali bin Abi Thalib, perempuan hamba sahaya dari seorang
Bani ‘Abdul Muththalib itu akhirnya mengaku dan mengeluarkan surat yang ia
sembunyikan di tali pengikat kainnya.
Memang kisah ini tidak selesai di sini. Karena kita tahu bagaimana cerita
setelahnya, kemenangan atas Mekah (Fathu Makkah) menjadi catatan gemilang bagi
sejarah Islam. Akan tetapi di balik kemenangan tersebut, kisah ini mengajarkan
kita tentang banyak hal.
Pertama, kaum muslimin menyerang Mekah bukanlah disebabkan hawa
nafsu kesombongan lantaran kini mereka sudah memiliki kekuatan yang besar.
Tidak. Akan tetapi kaum muslimin menyerang sebagai bentuk pembelaan kehormatan
dan izzah Islam atas pelanggaran perjanjian al-Hudaibiyyah yang dilakukan kaum
kafir Quraisy. Perjanjian al-Hudaibiyyah adalah kesepakatan damai selama
sepuluh tahun yang disepakati Rasulullah SAW dengan kaum kafir Quraisy saat
hendak berhaji di Mekah. Namun belum lama perjanjian itu dibuat, kaum kafir
Quraisy sudah melanggarnya. Hal ini ditandai dengan pembunuhan kaum muslimin
yang tinggal tak jauh dari Mekah.
Inilah yang menjadi dasar penyerangan atas penaklukan Mekah. Mereka
menyerang karena diserang. Dan ini untuk kejayaan Islam. Sungguh sebuah
pelajaran penting, betapa kemenangan besar itu bermula dari niatan dan dasar
yang benar: karena Allah SWT dan untuk Islam. Bukan yang lain.
Kedua, meski
menghendaki kemenangan, Rasulullah SAW tetap mengupayakan kemenangan yang tidak
menimbulkan kerusakan. Selain Mekah terdapat Masjidil Haram yang diharamkan
adanya pertumpahan darah, juga karena menyadari di dalam kota tersebut terdapat
keluarga-keluarga para sahabat yang Muhajirin. Jangankan kepada keluarga,
kepada yang bukan keluarga saja, yang notabene kafir manapun, Rasulullah SAW
selalu mewanti-wanti para sahabat yang berperang agar tidak menyerang wanita,
anak-anak, orang tua, atau orang-orang yang tidak ikut berperang. Juga dilarang
untuk menyakiti hewan dan merusak tanaman.
Betapa Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita agar menjaga keluhuran akhlak
pada segala kondisi, bahkan dalam situasi perang sekalipun. Karena ternyata,
keluhuran akhlak menjadi indikator kemenangan dakwah Islam. Tanpa akhlak yang
baik, sulit kiranya dakwah dapat diterima. Dalam al-Qur’an pun, banyak ayat
yang mengajarkan kita untuk memiliki akhlak yang luhur. Ibnu Qayyim berkata,
“Agama itu seluruhnya adalah akhlak. Barang siapa yang akhlaknya semakin baik,
maka agamanya pun semakin baik.” Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak.” [HR. Al-Bazzar]
Maka memiliki akhlak yang baik merupakan sebuah keniscayaan bagi seorang
muslim, apalagi seorang da’i yang menyeru kepada Allah SWT. Siapa yang tidak
memiliki hal tersebut, maka Allah SWT akan ganti dirinya dengan orang yang
lebih baik dari dirinya, yang mana Allah SWT gambarkan salah satu cirinya,
“yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras
terhadap orang-orang kafir,” [QS. Al-Maa’idah (5): 54]
Ketiga, meski
memiliki kelembutan yang sangat, hal tersebut tidak menghalangi Rasulullah SAW
untuk bertindak tegas terhadap sebuah pelanggaran, tak terkecuali terhadap
kesalahan yang dilakukan sahabatnya sendiri, Hathib bin Abu Balta’ah. Ketegasan
sangatlah diperlukan, apalagi dalam dakwah yang selain mengajak kepada
kebaikan, juga mencegah daripada keburukan.
Ketegasan Rasulullah SAW terlihat pada kecekatannya dalam mengambil
keputusan untuk mengutus ketiga sahabatnya guna mencegah jatuhnya informasi
kepada pihak lawan. Ketegasan pun ditampakkan oleh Ali bin Abi Thalib saat
berhadapan dengan perempuan pembawa surat itu. Bahkan demi menjalankan perintah
Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib berani mengancam akan menelanjangi wanita
tersebut. Bayangkan apa jadinya jika sebagai qiyadah,
Rasulullah SAW tidak cepat mengambil tindakan? Juga apa jadinya jika sebagai jundiyah, Ali bin
Abi Thalib gamang dan bimbang saat kedua sahabatnya tidak menemukan surat yang
dimaksud?
Maka ketegasan sangatlah diperlukan dalam dakwah. Tegas saat kita
berhadapan dengan perkara yang syubhat.
Tegas dalam membedakan al-haq
wal bathil. Tegas ketika kemalasan memberatkan langkah dakwah kita.
Tegas dalam kemelut kesulitan. Karena tegas adalah wujud kesabaran. Dan
tanpanya, kemenangan besar akan sulit terealisasi adanya.
Keempat, adanya
ketegasan rupanya tidak menutup keran objektivitas penilaian terhadap
seseorang. Juga tidak menutup pintu maaf atas kesalahan yang dilakukan
seseorang. Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW dengan ketegasannya, juga
kelembutannya, meredam kemarahan para sahabat yang lain terhadap Hathib bin Abu
Balta’ah, sekaligus berusaha menepis prasangka buruk yang berkembang di tubuh
jamaah. Di sinilah Rasulullah SAW memanggil Hathib bin Abu Balta’ah untuk
dimintai keterangan. Rasulullah SAW melakukan tabayun guna mendapat penjelasan
objektif sebelum memutuskan suatu perkara. Bukan berdasarkan prasangka.
“Hathib! Apa yang mendorongmu melakukan tindakan seperti itu?” tanya
Rasulullah SAW.
“Wahai Rasul! Janganlah engkau terburu marah. Demi Allah, saya adalah orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Saya tidak murtad dan tidak mengubah
agama saya. Dulu, saya adalah anak angkat salah seorang keluarga di sana
(Mekah). Tetapi saya juga orang yang ikut serta berhijrah bersamamu dengan
meninggalkan keluarga saya di Mekah yang dilindungi oleh kerabat mereka. Ketika
kerabat tersebut sudah tiada, saya ingin ada jaminan dari mereka untuk
melindungi keluarga saya. Padahal, orang-orang yang bersamamu mempunyai kerabat
yang bisa melindungi mereka. Itulah sebabnya, saya berusaha membela mereka.”
jawab sahabat yang pernah menjadi duta dakwah ke Mesir ini.
Rupanya, Hathib bin Abu Balta’ah melakukannya demi melindungi keluarganya
di Mekah. Akan tetapi, mendengar jawaban seperti itu, ‘Umar bin Khattab naik
pitam dan protes kepada Rasulullah SWT. ‘Umar bin Khattab merasa apa yang
dilakukan oleh Hathib bin Abu Balta’ah merupakan bentuk pengkhianatan kepada
Allah SWT dan Rasul-Nya.
Pun begitu, dengan kelembutannya, Rasulullah SWT justru mengampuni Hathib
bin Abu Balta’ah, dengan pertimbangan kebaikan-kebaikannya selama ini yang
turut dalam Perang Badar, turut berhijrah menemani Rasulullah SAW, serta
menjadi duta dakwah menghadap penguasa Mesir, Muqauqis. Akhirnya, ‘Umar bin
Khattab dan sahabat yang lain menerima keputusan beliau. Sungguh indah yang
diajarkan Rasulullah SWT. Jangan sampai karena satu kesalahan, kita menutup
mata terhadap kebaikan-kebaikan lain yang dilakukan saudara kita.
Kelima, juga
tentang tsiqah (kepercayaan)
dalam berjamaah. Baik seorang qiyadah
kepada jundiyah,
atau sebaliknya, jundiyah
kepada qiyadah.
Sebagaimana ke-tsiqah-an
Rasulullah SAW kepada ketiga sahabatnya untuk mengejar perempuan pembawa surat
itu. Juga bagaimana ke-tsiqahan-an
yang ditunjukkan tiga sahabat berkuda tersebut. Tanpa banyak tanya bagaimana
ciri-ciri wanita tersebut, seperti apa surat yang dimaksud, apalagi menanyakan
kenapa harus mereka yang diutus. Mereka tsiqah
kepada Rasulullah SAW. Itu saja sudah cukup untuk membuat mereka
bergerak mengemban amanah. Mereka yakin bahwa Rasulullah SAW benar, hingga saat
tidak menemukan surat tersebut, Ali bin Abi Thalib menegaskan, “Aku benar-benar
tahu, Rasulullah SAW tidak akan berdusta. Demi Allah, hai perempuan, jika kau
tak menunjukkan surat itu, aku akan menelanjangimu!”
Tsiqah merupakan sebuah
harga yang perlu dibayar demi sebuah keutuhan gerak dan tujuan jamaah. Karena
adanya tsiqah-lah
yang meredam segala distorsi yang ada di tubuh sebuah jamaah. Bagi seorang jundiyah, tsiqah
menjadikannya patuh terhadap perintah pemimpin selama perintah itu tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebaliknya, bagi seorang qiyadah, tsiqah menjadikannya
bergerak bersama para jundi-nya,
memberi mereka porsi tugas dan meyakini mereka adalah jundi-jundi terbaik.
Jika ada sebuah analogi jamaah dakwah serupa bangunan yang tersusun kokoh,
sudah tentu tsiqah merupakan
unsur pembangunnya. Tanpanya, sudah tentu akan ada distorsi yang mengganggu,
seperti yang dilakukan Hathib bin Abu Balta’ah.
Keenam, tentang
urgensi amniyah
dalam dakwah. Amniyah
atau kerahasiaan merupakan hal yang lumrah dalam segala bidang, bahkan terhadap
bidang yang mengaku paling terbuka sekalipun. Pada tataran tertentu, dalam
bidang tersebut, pasti ada ranah privasi yang tidak dapat dibagi ke publik.
Alasannya sederhana, yakni demi menjaga kemashlahatan umum dengan terjaganya
rahasia tersebut.
Secara empirik, keterahasiaan bukanlah melulu berkaitan dengan sesuatu yang
negatif. Sebaliknya, terkadang sesuatu akan terasa lebih menarik dan efektif
manakala ada keterahasiaan. Bayangkan apa jadinya jika kita menonton tayangan
sulap yang kita sudah tahu rahasianya? Juga mungkinkah kita akan merasa surprise bila
membuka kado yang kita sudah tahu isinya?
Dakwah pun demikian. Kerahasiaan ini bukanlah pada gerak dakwah secara
keseluruhan seperti pada masa dakwah sirriyah
(sembunyi-sembunyi), melainkan terhadap informasi-informasi
tertentu dalam jamaah, yang sekiranya tidak akan memberi manfaat jika diberikan
kepada yang tidak berhak.
Seperti kata orang bijak, “Semua akan indah pada waktunya.” Begitulah
idealnya menyikapi ranah amniyah
ini. Jangan terlalu kaku hingga menimbulkan kesan eksklusif pada tubuh internal
jamaah itu sendiri, tapi juga jangan terlalu longgar dan cair hingga informasi
menyebar ke mana-mana.
Jika pun informasi amniyah
jatuh kepada yang tidak berhak, maka kemungkinannya ada dua, yakni
terjadinya kesia-siaan informasi atau ketidaktepatan informasi yang berpotensi
menimbulkan masalah-masalah baru lainnya. Jelas ini tidak baik. Itu sebabnya
Rasulullah SAW begitu tegas manakala mengetahui Hathib bin Abu Balta’ah
berusaha membocorkan rahasia penting tersebut, apalagi dihantarkan ke daerah
lawan.
Sumber :
No comments:
Post a Comment
Thank's for your comments...:)