Tuesday, April 23, 2013

~ Kartini ~

Minggu, 21 April kemarin, Indonesia merayakan hari Kartini, Kartini adalah pahlawan wanita yang merupakan simbol kebangkitan kaum perempuan di Indonesia. Peringatan Hari Kartini tidak hanya diperingati oleh instansi pemerintah dalam bentuk upacara bendera, tetapi juga oleh anak-anak TK maupun SD yang mengenakan pakaian adat daerah masing-masing sebagai lambang Bhineka Tunggal Ika.

Kartini
Raden Ajeng Kartini dilahirkan di Jepara pada tanggal 21 April 1879 yang berasal dari keturunan keluarga kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa yang cerdas. Beliau adalah Putri dari seorang Bupati Jepara pada waktu itu yaitu Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan Ibunya bernama    M.A. Ngasirah putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluk awur, Jepara dan merupakan cucu dari Bupati Demak, yaitu Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang diangkat menjadi bupati pada usia 25 tahun. Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara baik saudara kandung maupun saudara tiri dan dari kesemua saudara kandung, Kartini merupakan anak perempuan tertua. Kartini mempunyai kakak yang bernama Sosrokartono beliau adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.

Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School) sampai usia 12 tahun, tetapi setelah usia 12 tahun ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Salah satu mata pelajaran di ELS adalah bahasa Belanda. Ia mulai belajar menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, diantaranya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya melalui buku-buku, koran, dan majalah Eropa.
Kartini sangat tertarik pada kemajuan berpikir perempuan-perempuan di Eropa hingga timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi yang pada saat itu berada pada status sosial yang rendah. Surat-surat Kartini sebagai hasil korespondennya dengan beberapa rekan sahabatnya di Eropa, kemudian dijadikan sebuah buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Raden Ajeng Kartini yang telah meningkat dewasa pada waktu itu, tidak dapat melihat kenyataan ini meskipun beliau dilahirkan didalam lingkungan ditengah-tengah kebangsawanan atau keningratan yang pada waktu itu mempunyai taraf kehidupan sosial yang sangat berbeda dengan masyarakat banyak yang hidup didalam lingkungan kehidupan adat yang sangat mengekang kebebasan tetapi beliau tidak segan-segan turun kebawah bergaul dengan masyarakat biasa, untuk mengembangkan ide dan cita-citanya yang hendak merombak status sosial kaum wanita, dan cara-cara kehidupan dalam masyarakat dengan semboyan : “Kita harus membuat sejarah, kita mesti menentukan masa depan kita yang sesuai dengan keperluan serta kebutuhan kita sebagai kaum wanita dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti halnya kaum laki-laki”.

Dengan melanggar segala aturan-aturan adat pada saat itu, Raden Ajeng Kartini mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya yang setara dengan pendidikan kaum penjajah belanda pada waktu itu, beliau sempat mempelajari kegiatan-kegiatan kewanitaan lainnya. Dengan pengetahuan serta pengalaman yang didapatnya, Raden Ajeng Kartini secara berangsur-angsur dan setahap demi setahap tapi pasti berusaha menambah kehidupan yang layak bagi seorang kaum wanita.

Kartini and Husband
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang yang pernah memiliki tiga istri,  Pernikahan dilaksanakan pada tanggal 12 November 1903 dengan Raden Adipati Joyoningrat dan mengharuskan beliau mengikuti suami dan Suaminya mengerti keinginan Kartini oleh karenanya ia diberi kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka, disanalah beliau mengajarkan tentang kegiatan wanita, seperti belajar jahit menjahit serta kepandaian putri lainnya. Di daerah inilah beliau dengan gigih meningkatkan kegiatannya dalam dunia pendidikan. Beliau juga mempunyai keyakinan bahwa kecerdasan rakyat untuk berpikir, tidak akan maju jika kaum wanita ketinggalan.

KartiniSchool
Raden Ajeng Kartini melahirkan Anak pertama dan sekaligus anak terakhirnya yaitu    RM Soesalit pada tanggal 13 September 1904, Beberapa hari setelah melahirkan, tepatnya tanggal 17 September 1904 Kartini menghembuskan nafas terakhirnya yaitu pada usia 25 tahun. Beliau pergi meninggalkan Bangsa Indonesia dalam usia yang relatif muda, yang masih penuh dengan cita-cita perjuangan dan daya kreasi yang melimpah. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah.

Tetapi perjuangan serta cita-cita beliau tetap berkumandang dan berkembang, terbukti dalam masa pembangunan sekarang ini tidak sedikit kaum wanita yang memegang peranan penting, baik dalam pemerintahan dalam bidang swasta sesuai dengan profesi masing-masing.

Demikianlah kisah Raden Ajeng Kartini, semoga bermanfaat J
Terima kasih Ibu Kartini dan Kartini masa kini
Salam Ukhuwah
J

No comments:

Post a Comment

Thank's for your comments...:)