Kelapa sawit atau yang nama lainnya malanococca atau Elaeis oleivera diduga berasal dari Amerika Selatan dan
species Elaeis guineensis berasal dari Afrika (Guenia).
Jadi Kelapa sawit bukanlah tanaman asli Indonesia,
dan didatangkan pertama kali oleh Belanda dari Afrika. Tanaman ini dimasukkan
ke Indonesia pada tahun 1848 dengan nama latin : Elaeis guineensis Jack ; dan
pertama kali ditanam di kebun Raya Bogor. Pada perkembangan selanjutnya,
dilakukan percobaan-percobaan di berbagai tempat di pulau Jawa dan Sumatera.
Dipropinsi Sumatera Selatan misalnya : ditanam di Muara Enim pada tahun 1869,
di Musi Ulu pada tahun 1878, di Belitung tahun 1890, dan lain-lain. Kesemuanya
dilaporkan tumbuh dengan baik, namun belum ada yang mengusahakannya sebagai
perkebunan secara komersil.
Selanjutnya, pada tahun 1911,
Adrien Hallet seorang berkebangsaan Belgia
adalah orang pertama yang memasukkan tanaman ini ke Indonesia dan diusahakan
dalam bentuk perkebunan dengan mendirikan perkebunan kelapa sawit di Asahan
(Sumatera Timur) dan di Sungai Liput (Aceh Timur). Perkebunan ini sekarang
bernama PT. Socfindo. Kemudian baru diikuti oleh maskapai-maskapai lainnya pada
waktu itu.
Usaha perkebunan ini kemudian
berkembang ke pulau Jawa dan akhirnya mencapai seluruh Indonesia. Dua tahun
kemudian yakni tahun 1913 pabrik CPO dan PKO yang pertama didirikan dan
berproduksi tahun 1916 yakni pada saat panen Tandan Buah Segar yang pertama.Secara kronologis Perkebunan
kelapa sawit di Indonesia dapat dibagi dalam masa-masa :
I. Masa
Sebelum PD I ( 1914 – 1942 )
II. Masa
Jepang ( 1942 – 1945 )
III. Masa
Rehabilitasi ( 1945 – 1957 )
IV. Masa
Nasionalisasi ( 1957 – 1968 )
V. Masa
Pelita ( 1969 – Sekarang )
I. Masa Sebelum PD I ( 1914 – 1942 )
Pertama sekali kelapa sawit
dibudidayakan dalam bentuk perkebunan di Indonesia tahun 1911 persisnya di
Tanah Itam Ulu oleh maskapai Oloepalmen Cultuur dan di Pulau Raja oleh maskapai
Huilleries de Sumatra-RCMA (Inggris), kemudian dilanjutkan oleh Seumadan
Cultuur Mij di Seumadan, Sungai Liput Cultuur Mij di Sungai Liput, Palmbomen
Cultuur Mij di Mapoli dan Tanjung Genteng, Medang Ara Cultuur Mij di Medang
Ara, Huilleries de Deli di Deli Muda. Setelah itu perkebunan kelapa sawit
kemudian berkembang ke pulau Jawa dan akhirnya mencapai seluruh Indonesia.
Tahun 1913 pabrik CPO dan PKO
yang pertama didirikan dan berproduksi pada tahun 1916 yakni pada saat panen
tandan buah segar (TBS) yang pertama. Sampai tahun 1915, perkebunan yang dibuka
baru mencapai 2715 ha yang ditanam bersama-sama dengan tanaman kopi, kelapa,
karet dan tembakau.
Tahun 1916 jumlah perkebunan
kelapa sawit mencapai 19 perusahaan yang di tanam secara monocroping, terdiri
dari 16 perusahaan di Sumatera Utara dan 3 perusahaan di Jawa.
Pada tahun 1920 perkebunan
kelapa sawit semakin meluas lagi, dimana di Sumatera Timur telah terdapat 25
perusahaan, 8 di Aceh dan 1 di Sumatera Selatan yakni di Taba Pingin dekat
Lubuk Linggau. Sampai tahun 1939, jumlah perusahaan perkebunan di Indonesia
sudah mencapai 66 perusahaan dengan luas areal sekitar 105.100 ha. Sebagian
besar perkebunan ini diusahakan oleh kebun (Handels Vereniging Amsterdam), RCMA
(Rubber Cultuur Maatschappij Planters Association), Socfindo (Societe Financie
Indonesia), Asahan Cultuur Mij, LCB Mayang, Deli Mij dan Sungai Liput Cultuur
Mij.
II. Masa Jepang ( 1942 – 1945 )
Masa Jepang merupakan masa
suram dalam dunia perkelapasawitan di Indonesia, dimana pada masa ini ekspor
CPO dan PKO terhenti secara total. Banyak kebun kelapa sawit kemudian diganti
dengan tanaman pangan dan pabrik-pabrik tidak dapat beroperasi. Hampir semua
Pabrik disita oleh Jepang.
III. Masa Rehabilitasi ( 1945 – 1957 )
Setelah Indonesia memerdekakan
diri pada tahun 1945, sebagian besar dari perkebunan dan pabrik belum memiliki
status kepemilikan yang jelas dan baru pada tahun 1947 dikembalikan kepada
pemiliknya. Pemiliknya kemudian melakukan rehabilitasi, namun setelah
diinventarisasi hanya 47 unit pabrik saja yang dapat diperbaiki dari 66 unit
sebelumnya. Beberapa kebun hancur total seperti di Taba Pingin dan Oud Wassenar
di Sumatera Selatan, Ophir di Sumatera Barat, Karang Inou di Aceh dan beberapa
kebun di Riau.
Kekurangan dana dan gangguan
stabilitas keamanan dan politik menyebabkan upaya rehabilitasi perkebunan oleh
para pemiliknya tidak banyak membawa hasil.
Hal ini terbukti dari luas areal yang tidak bertambah. Pada tahun 1957, luas total
perkebunan Indonesia adalah 103.000 ha dengan produksi hanya 160.000 ton CPO
dan 39.000 ton PKO, demikian juga dengan ekspor hanya 129.000 ton CPO.
Disamping itu produktivitas juga menurun, sebelum penjajahan jepang
produktivitas sudah mencapai sekitar 3 ton/ha, namun setelah Jepang masuk
sampai tahun 1957 produktivitas hanya sekitar 1,9 ton/ha. Stagnasi ini juga
terjadi didunia seperti di Malaysia, Thailand dan negara lainnya.
IV. Masa Nasionalisasi ( 1957 – 1968 )
Masa ini merupakan era baru
bagi Indonesia untuk mandiri dengan mengambil alih perusahaan perkebunan
Belanda dan Jepang di Indonesia yang didirikan dalam masa penjajahan.
Pengambil-alihan ini dilakukan secara bertahap mulai 10 Desember 1957
berdasarkan SK Menteri Pertanian no. 229/UM/1957. Masa ini ditandai dengan upaya
reorganisasi dari bangsa Belanda ke pribumi Indonesia. Sejumlah posisi penting
sudah berhasil ditempati seperti kepala Kebun dan kepala Pabrik.
Dengan semangat membangun
kebun yang diambil alih dipertahankan sebaik-baiknya sekalipun dalam kondisi
ekonomi yang sulit. Akhirnya kinerja perkebunan sawit dapat ditingkatkan dimana
produksi telah meningkat menjadi 181.000 ton dan ekspor menjadi 152.000 ton
tahun 1968.
Adapun kejadian selama proses
nasionalisasi dapat dirinci sebagai berikut :
1. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik
Belanda, oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 10 Desember 1957, berdasarkan
surat Menteri Pertanian no. 229/UM/1957.
2. Nasionalisasi Perusahaan milik bangsa
Asing lainnya yaitu : Inggris, Perancis, Belgia, Amerika, dll, namun
dikembalikan lagi kepada pemiliknya semula, pada 19 Desember 1967.
3. Reorganisasi PNP/PTP dilakukan dari 1957 –
1960, dengan pembentukan PPN Baru disamping PPN lama yang sudah ada sebelumnya
(Perkebunan milik Pemerintah Penjajahan Belanda). Kedua PPN ini digabungkan
pada tahun 1960 – 1961.
4. Pembentukan Organisasi Baru, berdasarkan
jenis komoditi seperti Karet, Aneka Tanaman, Tembakau, Gula dan Serat. Hal ini
berjalan sejak tahun 1963 – 1968.
Periode 1957 – 1968 adalah
masa sulit bagi bangsa Indonesia, karena kultur-tehnis maupun manajemen kurang
terkendali, sebagai akibat suramnya perekonomian nasional. Pulihnya stabilitas
keamanan dan politik setelah penumpasan G 30 S PKI, serta timbulnya semangat
membangun kembali perkebunan kelapa sawit, telah banyak mengundang investor
asing seperti Bank Dunia dan ADB untuk membantu pembangunan tersebut.
V. Masa Pelita ( 1969 – 1998 )
Masa Pelita yang dimulai dari tahun 1969 sampai
sekarang merupakan masa kebangkitan industri kelapa sawit di Indonesia. Selama
Pelita I, pembangunan perkelapasawitan di Indonesia di fokuskan pada perluasan,
peremajaan, konversi, rehabilitasi dan penyuluhan. Pembangunan perkebunan
dilanjutkan pada Pelita II dengan titik berat pada efisiensi, pembukaan
lapangan kerja, pelestarian, pembukaan baru dan penerapan sistem PIR (Perusahaan
Inti Rakyat). Dalam pola PIR, motor penggerak perkebunan adalah perusahaan
Negara ( PTPN ) yang bertindak sebagai Inti. Langkah PTPN kemudian diikuti oleh
Swasta yang terjun secara besar-besaran setelah tahun 1990.
Sekian :)
No comments:
Post a Comment
Thank's for your comments...:)